Jumat, 12 April 2013

kekerasan dalam rumah tangga


Kata kekerasan mengingatkan kita pada sebuah situasi yang kasar,menyakitkan dan menimbulkan efek(dampak) negatif.Namun ,kebanyakan orang hanya memahami kekerasan sebagai suatu bentuk perilaku fisik yang kasar, keras, dan penuh kekejaman, sehingga bentuk perilaku opresif (menekan) lain yang bentuk nya tidak berupa perilaku fisik,menjadi tidak “di hitung” sebagai suaatu bentuk kekerasan, Kekerasan atauviolance adalah gabungan dua kata latin “vis”(daya,kekuatan) dan “latus” berasal dari kata “ferre” yang berarti membawa.
          Menurut Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud,Jakarta 1986,kekerasan diartikan sebagai “sifat atau hal yang keras,kekuatan,paksaan”.Sedangkan paksaan berarti desakan atau tekanan dengan kekerasan.Oleh karena itu kekerasan berarti juga membawa kekuatan,paksaan dan tekanan.
Kekerasan Dalam Keluarga menurut UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan  fenomena seperti gunung es yang akhir-akhir ini mulai bermunculan ke permukaaan dan dari waktu ke waktu semakin meningkat jumlahnya.
Ada ungkapan yang mengatakan,"Bila di luar rumah banyak penjahat yangsenantiasa mengancam kenyamanan dan keamananan kita, di rumah malah jauhlebih tidak aman." Alasannya, kejahatan di luar rumah lebih mudah untukdideteksi, sedangkan kejahatan di dalam rumah-berupa tindakkekerasan-saat ini sulit dideteksi penegak hukum. Masalahnya, selain terlindung oleh pernikahan sebagai lembaga pengikat, Kekerasan DalamRumah Tangga (KDRT) juga masih tertutup dan selalu dianggap sebagai masalah domestik.
Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat-termasuk perempuan yang menjadi korban-ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan.
 Akibat masih kuatnya budaya patriarki ditengah-tengah masyarakat yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang 'layak' dikorbankan dan dipandang sebatas "alas kaki di waktu siang dan alastidur di waktu malam".
Sejak dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pemerintah telah berani mengambil alih wilayah hukum yang sebelumnya termasuk ranah domestik kini menjadi ranah publik.Selama ini ditemukan adanya pandangan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan, istri, dan anak-anak dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah tangga semata.
Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitor-mitos yang merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya ayah yang dominan terhadap anggota keluarga dalam rumah tangga dengan sikap yang berlebihan sebagai relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang timpang berlangsung di dalam rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang benar yang melanggengkan KDRT.
UU PKDRT merupakan implementasi UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak serta bentuk diskriminasi  merupakan suatu isu global sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang wajib diselesaikan oleh Negara  dan masyarakat luas.
Dengan adanya PKDRT tersebut, kini segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga menjadi tindak kriminal.Salah satu dampak dari penerapan KDRT itu adalah terjadinya kesadaran publik atas KDRT. Tidak sedikit masyarakat semakin berani melapor kasus-kasus kekerasan karena adanya perlindungan korban KDRT. Di samping itu, timbul pula berbagai persoalan dalam menyelesaikan proses hukum KDRT.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 5 dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat .
Kekerasan psikis dipandang sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga dan terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu.
 Penelantaran rumah tangga dimengerti sebagai tindakan mengabaikan  tanggung jawab untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang berada dalam tanggung jawabnya. Tindakan lain adalah yang mengakibatkan “ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Dengan peraturan PKDRT tersebut pula segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi menjadi ranah internal keluarga tetapi menjadi ranah publik.Untuk itu publik atau masyarakat luas, menurut Undang-Undang KDRT tersebut wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan kemampuannya antara lain:
 1.Mencegah berlangsungnya tindak pidana, misalnya kekerasan atau bahkan sampai pada pembunuhan
2.Memberikan perlindungan kepada korban
3.Memberikan pertolongan darurat
4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan
Perlindungannya Keluarga Tanpa Kekerasan
Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasiluasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Disebagian besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan. Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminisdalam lingkup HAM internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRTsecara bertahap telah diakui sebagian besar negara di dunia.Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri.
Masalah kekerasan(violence against woman,gender based based violence,female –focoused violence,domestic violence).Saat ini tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional,tetapi sudah merupakan masalah global,karena terkait dengan issue global tentang Hak Asasi Manusia (HAM),yang diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebebasan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati,dijunjung tinggidan di lindungi oleh negara,hukum,pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia(Pasal 1 angka 1 nomor 39 tahun 1999 tentang HAM).HAM tersebut melekat pada diri manusia secara alamiah sejak manusia dilahirkan,di mana tanpa HAM tersebut,manusia tidak dapat hidup sebagai manusia yang wajar.
Kaitan dengan HAM nampak dari berbagai pernyataan antara lain bahwa kekerasan merupakan rintangan (barier) terhadap pembangunan,karena dengan demikian akan mengurangi kepercayaan diri,mengurangi otonomi diri baik dalam bidang ekonomi,politik,sosial budaya dan fisik.Dengan demikian kemampuan untuk memanfaatkan kehidupannya baik fisik,ekonomi,politik dan cultural menjadi terganggu.( Muladi,1997:31)
Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadaphak-hak yang melekat pada dirinya.
Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of Women,yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi berbagai langkah serius.
KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadidi seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telahmenciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatianterhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telahmeratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, UniversalDeclaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant onCivil and Political Rights (“ICCPR”), dan the International Covenant onEconomic, Social and Cultural Rights (“ICESCR”) yang menjadi standarumum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing.
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban.Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkansebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”).Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban.The European Convention for the Protection of Human Rights andFundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights(“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on thePrevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women(“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the AfricanCharter on Human and Peoples’ Rights (“African Charter”) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT.
Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.
 Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial.
Bentuk dari kekerasan dalam rumah tangga ini sangat berbahaya sekali jika di biarkan secara terus menerus karena dapat membahayakan nyawa korban dan sekaligus tentang psikis korban jika jika tidak langsung mendapatkan penanganan dan perlindungan,adapun bentuk –bentuk  kekerasan dalam rumah tangga antara lain:
1.kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti :memukul ,menendang,dan lain-lain) yang mengakibatkan luka.rasa sakit,atau cacat pada tubuh hingga menyebabkan kematian
2.Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalaah tindakan penyiksaan secara verbal (seperti : menghina,berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,meningkatkan rasa takut,hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya.Kekerasan psikis ini,apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan memicunya dendam di hati korban
3.Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yaang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhui kebutuha seksual istri.
Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di seluruh Indonesia memangbelum tersedia. Namun, terdapat sejumlah informasi dari LSM danorganisasi perempuan, khususnya Women's Crisis Centre yang khususmenerima pengaduan dan membantu korban kasus KDRT, yang mengungkap faktatersebut.
Mitra Perempuan Women's Crisis Centre di Jakarta mengaku,selama periode 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasanterhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor,Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Pelaku kekerasan terbanyak dilakukansuami korban, yakni sebesar 69-74 persen. Rifka Annisa Women's CrisisCentre di Yogyakarta, selama 1994-2000, menerima pengaduan 994 kasuskekerasan terhadap istri oleh suami yang terjadi di Yogyakarta dan JawaTengah.

B.Rumusan Masalah
 Rumusan masalah dalam penulisan paper ini adalah:
1.Apa kejadian yang dapat digolongkan KDRT?
C.Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui:
1.hal apa yang dapat di kategorikan sebagai kejadian yang dapat di golongkan KDRT
C.Landasan teori
          Kekerasan menurut Galtung adalah “any avoidable impediment to self realisation”(Mohtar Mas’ud,dkk,2005:5),yang maksudnya “kekerasan adalah segala sesuaatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar”.berdasarkan konsep tersebut jelas bahwa kekerasan selaluu berhubungan dengan tindakan atau perilaku kasar,mencemaskan,menakutkan dan selallu menimbulkan dampak (efek) yang tidak menyenangkan bagi korbannya,baik secara fisik,psikis maupun sosial.
Maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah suatu kenyataan yang cukup memprihatinkan. Dari berbagai data statistik, kian hari angka tindak KDRT di Indonesia semakin tinggi. Banyak upaya yang dilakukan, namun banyak pula kendala yang dihadapi sehingga meminimalisir KDRT masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua.
Perlu diingat oleh kita, bahwa ketika kita masuk dalam kasus yang ada diranah keluarga, maka kita memasuki wilayah yang cukup sensitif danprivasi. Mengingat keluarga sebagai institusi privat bukan suatu yangmudah untuk membuka apa yang terjadi didalamnya apalagi secara vulgar.Tiap individu bagaimanapun juga memiliki wilayah pribadi yang tidak bisamenjadi konsumsi publik. Oleh karena itu untuk menangani KDRT memerlukan sikap yang bijaksana.Lingkungan masyarakat adalah salah satu kontrol sosial bagi tiapindividu.
Begitu pula dalam kehidupan berkeluarga. Tiap keluarga tidakdapat hidup tanpa berdampingan dengan masyarakat luas. Merelevansikandengan KDRT, maka pengoptimalan peran masayarakat sebagai kontrol sosial adalah sebuah solusi yang aplikatif.
Keluarga adalah struktur masyarakat terkecil dari sebuah negara.Keluarga merupakan wilayah pembinaan awal yang memiliki signifikansi terhadap lingkungan yang lebih besar diatasnya. Keluarga juga berfungsisebagai tempat berlindung di mana setiap individu mendapatkan sebuah rasa nyaman yang didasarkan pada hubungan darah. Maraknya kekerasan dalam runah tangga (KDRT) merupakan kenyataan yang pahit yang membuat buramnya fungsi sebuah keluarga.
KDRT juga telah ditegaskan sebagai salah satu bentuk diskriminasi. Hal ini juga ditegaskan dalam Conventionon the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (KDRT) disebutkan, bahwa definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah :Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga; termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
          Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman Lain Yang Kejam ,Tidak Manusiawa dan Merendahkan Martabat Manusia(Resolusi nomor 39/46,disetujui oleh Majelis umum PBB pada tanggal 10 Desember 1984).Yang di maksud dengan penyiksaan menurut konvensi ini adalah setiap perbuatan yang di lakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat,baik jasmani maupun rohani,pada seseorang untuk memeperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga dengan menggancamnya atau memaksa orang itu atau untuk suatu alasan yang didasarkandiskriminasi.

Budaya Sunda


KEBUDAYAAN SUNDA
Istilah Sunda kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu sund atau suddhayang artinya adalah bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yaitu bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada.
Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus.
Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan.
Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap penting.
Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya terhadap kebudayaan-kebudayaan lain.
Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah, dan silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu juga, Sunda memiliki banyak budaya lain yang khas contohnya : kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama, penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik), membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.
Daya hidup
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. “Kegemilangan” kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Daya mati
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen orang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada orang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Jenis kesenian tradisional
Kebudayaan sunda juga memiliki berbagai jenis kesenian tradisional asli sunda khususnya seni Sunda buhun, hampir punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan dihargai publik, serta terdesak seni pop modern yang dianggap lebih menarik. Kemudian ada juga berbagai jenis seni tari antara lain seni tari jaipongan, tari merak, dan tari topeng .
Jenis – jenis makanan asli sunda antara lain :
-         gurame sambal tauco
-         tutug oncom
-         sambal dadak
-         nasi timbel
-         opak