Senin, 14 November 2011

ILMU BUDAYA DASAR : BUDAYA LEBARAN ATAU RAMADHAN

KEBUDAYAAN PADA SAAT LEBARAN ATAU RAMADHAN

NAMA   : Taufan Arief Alamsyah
NPM      :17211036
KELAS    : 1EA01


    Hari raya idul fitri merupakan sesuatu yang bersifat kebiasaan (akan terulang dari tahun ketahun) dan perayaan lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal yang selalu dirayakan seluruh umat Islam di dunia, pada waktu kecil saya sering melihat budaya lebaran (idul fitri) yang paling menarik adalah budaya silaturahmi antar keluarga, tetangga dan teman, tetapi saat ini ada pergeseran budaya yang sebagian masyarakat, khususnya anak muda di waktu lebaran menghabiskan di tempat pariwisata atau bentuk hiburan lainnya, inilah suatu pergeseran budaya dalam kehidupan masyarakat dalam menyambut hari raya idul fitri.

    Budaya yang menjadi kebiasaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat di hari lebaran yaitu kebiasaan hal yang baru, dari situ membentuk budaya konsumerisme tinggi dalam kehidupan masyarakat, sehingga kita sering melihat masyarakat berbondong-bondong beli baju baru, kerudung baru, celana baru atau bentuk yang sejenisnya yang bersifat baru, peristiwa ini merupakan kebiasaan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga dapat dipastikan para pedagang banyak meraup untung di hari menjelang lebaran ini.

   Budaya lebaran adalah pembaharuan atau bisa di sebut kembali kepada kesucian, sehingga di manfaatkan sebagian masyarakat untuk membeli sesuatu yang baru berupa materi yang di anggap perlu untuk menyambut lebaran, bahkan bagi masyarakat jawa dalam menyambut tamu dengan memberikan makanan ringan (jajanan) yang tersedia di kotak-kotak yang ada di ruang tamu dan juga memberikan minuman tea, kopi, sirup atau minuman yang lainnya, sebagai bentuk penyambutan tamu di waktu lebaran dalam budaya masyarakat setempat.

    Berbicara tentang lebaran tentunya sesuatu yang punya karakter dan punya nilai lebih dalam hubungan sesama di banding hari-hari yang lain, karena di hari lebaran kita punya budaya saling mema’afkan satu sama lain, sebagai bentuk kebersamaan menuju penyucian diri setelah berpuasa selama bulan ramadhan. Ingat lebaran tentunya ingat kampung halaman bagi para perantau, jadi bersiap-siaplah pulang dengan energi secukupnya dan kebutuhan yang diperlukan untuk menyambut hari raya Idul fitri, dan yang pastinya jalan-jalan di waktu lebaran begitu ramai di penuhi para pemudik dan jangan lupa siapkan uang receh sebab biasanya kalau di kampung para pemudik yang pulang dari kerja akan memberikan uang receh itu untuk anak-anak kecil sebagai uang jajan dan sebagai bentuk hadiah tahunan di hari lebaran yang penuh istimewa bagi yang merasakan indahnya hari lebaran.

    Berangkat dari tulisan di atas semoga saja budaya lebaran yang membentuk budaya baru materi fisik, dapat merambah membentuk jiwa kita yang baru, agar lebih baik lagi di banding sebelumnya, dan semoga kita juga dapat memperbarui pikiran yang lebih cerdas dalam menganalisa setiap menjawab persoalan kehidupan. Dan Allah penguasa segala sesuatu, pengatur segala ciptaan, tiada Tuhan selain Dia.

 
MENGENAL TRADISI SEPUTAR RAMDHAN DI SUATU DAERAH

   Adanya tradisi yang berlangsung di suatu daerah bukan sekedar bernilai kemeriahan tapi lebih dari itu akan dapat menggerakan kegairahan masyarakat setempat dalam memelihara budaya. Karena sudah mentradisi maka terdapat nilai nostalgik bagi yang pernah mengalaminya di masa kecil. Berlangsungnya acara juga akan menyedot masyarakat dari daerah lain untuk menyaksikannya dan akan menjadi obyek wisata menarik. Keramaian akan menimbulkan pasar, menumbuhkan sektor usaha kecil dan bergeraknya sektor ekonomi di daerah itu.

   Sebagai kota baru Tangerang Selatan bukan berarti tidak memiliki tradisi di seputar Ramadhan. Di beberapa desa sebenarnya sudah ada beberapa tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun yang dapat dijadikan sebagai tradisi lokal Tangsel.

PELITA MALAM LEBARAN



   Masyarakat Bakti Jaya, kec. Setu tempat saya tinggal, malam Lebaran 2010 masih memasang pelita di kiri kanan jalan AMD Bakti Jaya Pocis sepanjang lebih dari 1 km. Pelita dibuat dari botol minuman energi yang diberi sumbu dan berbahan bakar minyak tanah. Dipasang dengan jarak  1,5 – 2 m diikatkan pada batang bambu setinggi 1 m dari tanah. Setelah dinyalakan kerlap-kerlip pelita yang bergoyang ditiup angin akan menguapkan aura syahdu diiringi kumandang takbir di malam Lebaran. Lampu ini dibuat secara bergotong-royong oleh warga. Beberapa hari sebelumnya botol minuman sudah dikumpulkan, sumbu yang digunakan adalah sumbu kompor, sedangkan pipa sumbu dibeli di pasar Serpong. Namun dengan adanya konversi minyak tanah ke gas rupanya menyurutkan tradisi ini walaupun sebenarnya masih bisa diganti dengan minyak sayur bahkan bohlam listrik. Lebaran 2011 ini tidak terlihat lagi kerlap-kerlip pelita di Pocis. Mungkin faktor kelangkaan bahan bakar atau karena Lebaran ‘ditunda’. Alasan yang tepat kurang jelas tapi sungguh merasa kehilangan. Belum sempat diberi nama namun keburu menghilang. Sayang sekali. (Nama “Pelita Malam Lebaran” hanyalah rekaan penulis daripada tak ada judul).

   Di daerah lain, misalnya di Gorontalo, tradisi ini disebut “Tumbilotohe” atau menyalakan lampu. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun sejak abad XV. Semula menggunakan minyak damar, karena semakin langka maka digunakan minyak tanah. Sekarang minyak tanahpun menghilang, tetapi karena Pemda setempat konsisten terhadap pelestarian budaya maka subsidi dikucurkan kepada setiap kelurahan. Acara digelar pada 3 malam penghujung akhir Ramadhan dan dilombakan sehingga setiap kelurahan tergugah untuk menampilkan kreasi terbaiknya. Malam Lebaran merupakan malam puncak “Tumbilotohe” bahkan dibuat pula di kantor Gubernur yang terletak di puncak bukit sehingga bisa dilihat dari berbagai arah. Disamping masyarakat Gorontalo sendiri, “Tumbilotohe” juga berhasil menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara untuk menyaksikannya. Demikian keterangan seorang teman yang asli Gorontalo.

 NGADU BEDUG


Beberapa tahun yang lalu terdapat festival “Ngadu Bedug” di Kampung Jati, desa Buaran kec. Serpong. Beberapa buah bedug disiapkan dalam berbagai ukuran kemudian ditabuh. Untuk memeriahkan acara ini dinyalakan pula petasan. Acara ini berlangsung tujuh hari setelah lebaran dan berlangsung selama beberapa hari. Keramaian acara ini telah berhasil menyedot perhatian masyarakat dari desa lain dan menjadi obyek wisata alternatif yang murah-meriah pasca Lebaran. Akan tetapi dengan pemberlakuan larangan menyalakan petasan oleh pihak berwajib menjadikan acara ini kurang meriah. Namun demikian pihak berwajib juga tidak bisa disalahkan begitu saja, karena seringkali terjadi kecelakaan karena terkena ledakan petasan bahkan perang petasan. Tentunya pihak berwajib tidak mau kecolongan lagi. Kalau di daerah Banten dikenal dengan “Rampak Bedug”.


*SUMBER   :
http://rofiquez.wordpress.com/2011/09/06/menggali-tradisi-seputar-ramadhan-dan-lebaran-di-tangerang-selatan/

http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/01/budaya-lebaran-hari-raya-idul-fitri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar